diary

diary

**

Jumat, 18 Oktober 2013

IBU............


saat Mempunyai pasangan Hidup
Saat senang yang cari pasangan nya ..
Saat sedih yang cari ibu ....
Saat sukses yang di ceritain pada pasanganya ..
Saat gagal yang ceritain pada ibu ...
Saat bahagia aku peluk erat pasangannya ..
Saat sedih aku peluk erat ibunya ...
Saat liburan yang bawa pasangannya ..
Saat sibuk, anak dianter ke rumah ibu ...
Selalu tiap saat yang ingat pasangannya ..
Selalu ibu yang di ingat anaknya ...
Setiap saat yang di telpon pasangannya ..
Kalau telpon ibu kalau ingat saja...
Selalu tak pernah lupa belikan hadiah untuk pasangan ..
Entah kapan akan belikan hadiah untuk ibu ...
Renungkanlah ..:
"Kalau kau sudah gajian saat berkerja ...
sudahkah kau kirim uang untuk ibu ..?
Ibu tidak minta banyak... lima puluh sebulan pun "cukuplah".
Berderai air mata jika kita mendengarnya ........
Tapi kalau ibu sudah tiada ..........
Ibu aku RINDU....... AKU RIIINDDUU ... SANGAT RINDU ....
Berapa banyak yang sanggup menyuapkan ibunya dikala beliau sakit ....?
berapa banyak yang sanggup melap/bersihkan muntah ibunya .....?
berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibunya .....?
berapa banyak yang sanggup. membuang nanah dan membersihkan luka ibunya ..?
berapa banyak yang sanggup cuti kerja untuk menjaga ibunya yg sedang sakit ...?
Dan akhir sekali .... berapa banyak yang mensholati JENAZAH ibunya ......?

JANGAN !! ditunda untuk membahagiakan orangtua,selagimasih bisa dan selagi mereka masih ada, BAHAGIAKANLAH mereka, sebelum HANYA BISA mengirim do'a.

CINTA TAK PERLU DI PERLIHATKAN HAL LAYAK

CINTA DAN MAHABBAH



Dia yang mencintai kamu bukanlah dia yang selalu berkata mesra di hadapanmu
Dia yang menyayangi kamu bukan dia yang selalu mengatakan seberapa besar dia mencintaimu
Tapi dia yang mencintai kamu adalah dia yang selalu mengkhawatirkanmu

Dia yang selalu ingin tau kabarmu
Dia yang selalu ingin membuatmu bahagia
Dia yang selalu mengerti perasaan kamu tanpa harus kamu pinta
Dia yang tak pernah menuntun cinta kamu untuk diperlihatkannya
Dia yang tak pernah ingin membuat kekasihnya menangis karenanya .

Karena ketulusan cinta tidak perlu diperlihatkan didepan orang banyak agar mereka tau bahwa kamu cintanya melainkan bagaimana ia mampu membuktikan seperti apa ia mampu setia dan melindungi kekasihnya serta bertanggung jawab untuk menghalalkanya bukan hanya sekedar cinta pelampiasan semata....

SALAH SATU RAHASIA DI BALIK LARANGAN ROSULLULLAH

CINTA DAN MAHABBAH

MENGAPA NABI MELARANG MENIUP AIR PANAS..?
Bismillah..Nabimelarang sahabatnya meniup air panas yang akan diminum. Beliau tidak menerangkan tetapi melarang keras hal
tersebut.
Ternyata dalam penelitian sains, air panas (H2O) yang bertemu dengan karbondioksida (CO2) yang dihembuskan oleh mulut,
maka akan menghasilkan persenyawaan H2CO3 (asam karbonat). Dan jika asam karbonat itu masuk dalam tubuh manusia,maka dapat menyebabkan penyakit jantung.
Subhanallah... rupanya itu rahasianya..

3 KUNCI KE-SUKSESAN

CINTA DAN MAHABBAH


☑ Man Jadda Wa Jadda [Siapa yang bersungguh-sung ­guh akan berhasil

☑ Man Shobaro Zafiro [Siapa yang bersabar akan beruntung

☑ Man Saro Darbi Ala Washola [Siapa yang berjalan di jalur-Nya akan sampai

Semoga kita semua bisa melaksanakannya ­..
Aamiin

JANGAN MENYIKSA DIRI SENDIRI

CINTA DAN MAHABBAH

Masih menyukai seseorang yang nyata2 tidak menyukai kita.
Hanya akan membuat hati kecewa.

Masih berharap seseorang yang nyata2 tidak mengharapkan kita.
Hanya akan membuat hati tersiksa.

Masih mencintai seseorang yang nyata2 tidak mencintai kita.
Hanya akan membuat waktu terbuang sia-sia.
... 
Daripada sibuk memikirkan hal2 yang tiada berguna.
Akan lebih baik untuk menyayangi diri sendiri.

Mulai dengan berusaha menjadi pribadi yang baik.
Berakhlak mulia.
Santun dalam berkata.
Tanamkan iman dan takwa.

Pada akhirnya.
Allah akan kirimkan kepada kita.
Seseorang yang pantas untuk kita..

Minggu, 09 Juni 2013

BELAJAR KISAH NABAWIYAH TENTANG KHILAFAH


Pembahasan tentang khilafah terkadang menimbulkan banyak kerancauan di kalangan generasi masa sekarang, kerancauan semakin nyata saat generasi muda sekarag kurang pemahaman mengenai hal ini ,sehingga mudah terombang ambing dalam menafsirkan berbagai hal - hal tentang khilafah atau hanya ikut - ikutan tanpa faham makna mendalam tentang khilafah .
Pemahaman  tentang Khilafah sendiri kadang mengalami dua kerancauan di pandang secara makna sempit dan pandangan secara makna luas antara lain:
Pertama, penyempitan makna khilafah, pandangan yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan saja (politik). 
Kedua, pandangan luas nya pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat baik secara agama ,syariat agama ,kekuasaaan (politik),hukum publik dll / lebih mencakup istilah sekarang EPPOLISOSBUDHAMKA.
Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata“khilafah” bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas yang tercantum di atas
Namun pandangan secara etimologis ini kadang seolah di biaskan dan terkesan salah kaprah dengan ajakan atau seruan seolah - olah pemegakan syariat yang di paksakan dengan melakukan perebutan kekuasaan seakan akan  poin ke dua ini di plintir dan di garis bawahi wajib menegakkan khilafah di tengah tengah pemerintah yang ga sefaham dengan islam.
Kerancauan pemahaman ini sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa islam itu bukan agama radikal atau pun pemberontak melainkan rohmatal lilalamin.

                                                                                                                              إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.2 : 30)

Dalam firman Allah diatas  berkaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, adalah khilafah ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung dalam Al-Qur-an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam AS ke bumi,

                                                                                         فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).

Mengamalkan tuntutan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah sebenarnya yang termaktub dalam Al - Qur'an yang Allah perintahkan kepada Nabi Adam. Ketika Nabi Adam turun di bumi belum ada bangsa apapun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan dan kekuasaan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra AdamAS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.
Khilafah yang di maksud dan arti sebenarnya adalah merupakan tugas masing-masing diri sendiri,sebagai manusia makhluk Allah . Tak ada alasan bagi siapapun untuk mengangga premeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya, lantaran adanya simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).

Khilafah masa Rosullullah 

Bila memcoba membuka tentang khilafah pada masa Nabawiyah, Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muhammad SAW, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk. Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai Nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi perintah,“Memberontaklah kepada parapenguasa, perbaiki berbagai masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu!” Rasulullah SAW tidak memerintahkan itu. Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit / otoriter).

Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihaian karya Al-Hakim, disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan.” (HR.Ahmad)

Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, Ali KWH dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan inilah masa kepemimpinan Al-Hasan bin ‘Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-halrahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.
Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi : Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya,“Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.” Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin ‘Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru dengan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat.
Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.”(HR.Bukhari)

Menelusuri Jejak Nabawiyah 

Dalam sebuah hadist Rosullullah berdo'a "Ya Allah ,curahkanlah rahmat kepada para khalifah / penggantiku "
Ketika beliau ditanya, siapa para khalifah itu, beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau bersabda “Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun”, tapi beliau menggunakan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda, “Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meriwayatkan hadits-haditku dan mengajarkannya kepada manusia.”
Beliau menyatakan,orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya kepada orang lain adalah para khalifah para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal Ulul Amriyang disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi ilmu syari’at dan menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya, ayat,

                                                                     وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“...dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri).” (QS. 4 : 83). 

Menurut pendapat para mufassir, yang dimaksud ulil-amri disini adalah ulama. Sebagaimana juga dalam firman Allah,

                                                                                                        أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“...taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil-Amri diantara kalian.” (QS.4 : 59)

Sementara, mengenai kekuasaan lahiriyah, hukumnya dalam syari’at adalah , “Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR.Thabrani)

Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap. Pertama, meninggalkan khilafah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka. Kedua, menolak untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Sayyidina Utsman.

Perhatikanlah, Rasulullah SAW memuji cucunya, Al-Hasan, karena rela melepas kekhilafahan lahiriah demi kebaikan kaum muslimin. Di sisi lain, beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman RA, “Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)

Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan mempermainkannya.

Latar belakang dan realitasnya berbeda. Maka, dalam, kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemauan mereka hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia terbunuh dalam keadaan membaca Al Qur-an dan tetesan darahnya yang pertama mengenai ayat 

                                                                                                                      فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.2 : 137). Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).

Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu selamanya.”

Ternyata, didetik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada Allah agar mempersatukan umat sepeninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, persatukan umat Muhammad” sampai dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan atau mempermainkan agama.

Insan Insan Teladan Khilafah

Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya pada kesyahidan.

Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khilafah lahiriah ini hingga wafat. Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk, berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Muhammad SAW.

Kalau kita bercermin pada yang dilakukan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagaimana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi “Khalifah” Yazid)?

Beberapa hal yang harus dipahami mengenai keberangkatannya ke Irak. Diantaranya adalah, pertama, adanya surat ajakan yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak mempercayainya, mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.

Kedua, ia sudah memperkirakan pengkhianatan ini. Namun, mati syahid tampak di depan mata. Sepeninggal kakaknya, Al-Hasan, giliran ia yang menyimpan rindu bertemu kakeknya.

Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah, namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami wajibnya patuh kepada penguasa. Ia ingin mengajari umat agar tidak memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh kepada penguasa, kendatipun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para penguasa itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal. Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.

Jadi, gerakan Al-Husain adalah untuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami singgung dalam pembahasan tadi, ia memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam kesyahidan. Ia begitu rindu untuk bertemu kakeknya.

Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Rasulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas kesesuaian perkataan dan tindakan yang benar.

Maka, Sayyidina Husain memberikan penjelasan mengenai perbedaan berbagai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari. Hal itu menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad SAW.

Khilafah agung Nabawiyah yang bukan sekadar kekuasaan lahiriah itu kemudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu, apa yang ia lakukan? Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya? Apa ia membuat rencana kudeta terhadap penguasa yang ada?

Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku bersaksi bahwa ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, ia bukan orang bodoh. Dimasanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.

Namun demikian, ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur-an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.

Inilah khalifah sejati. Inilah yang dilakukan generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak Ahlul Bayt, Sahabat, Tabi’in, dan para pengikut mereka.

Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’fa rAsh-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.

Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah, masih banyak pemuka sahabat. Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan “Kami bersama Anda, kami berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda meninggalkan kami dan menyerahkan khilafah kepada orang lain?” Tidak. Al-Hasan patuh (pada tuntunan agama), merekapun ikut patuh.

Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekuasaan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah diantara mereka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan teladan para penghulu dan ajaran Rasulullah SAW?

Khilafah berlanjut. Tibalah masa para Imam : Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad binHanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?

Mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tangah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya. Mereka adalah khalifah terbaik dari Rasulullah SAWdan saat itu terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dantabi’ut tabi’in.

Khikmah Khilafah

Bagitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al Qur-an dan dijalani para nabi di masa-masa lampau.

Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini? Ya. Ia khalifah selama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ternyata kekuasaan bukan berada ditangannya, tapi tangan orang-orang kafir.

Lalu, apakah tugas khalifah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?

Tidak, khilafah tegak berada di tangan Nabi Nuh AS dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang. Namun, segelintir orang ini memiliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada di kapal Nuh. Itua dalah balasan atas kesabaran dan ketabahannya selama 950 tahun melaksanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.

Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari pertama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga memikul khilafah dari Allah. Namun,kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala tentaranya.

Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.

Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah, ia adalah seorang khalifah Allah. Bahkan, termasuk Rasul Ulul ‘Azmi, termasuk utusan Allah yang istimewa.
Begitu pula Sayyidina Ibrahim, ia berada di bawah kekuasaan Namrudz beberapa kali. Sampai ketika mukjizatnya muncul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan baginya. Waktu itu, kekuasaan masih berada di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim berada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga Allah SWT menolongnya.

Inilah poin terpenting dalam tema khilafah, juga pandangan para salaf mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun melewati keadaan ini.

Begitulah pengertian khilafah. Pengertian yang memiliki kaitan erat dengan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita tidak melanggar prinsip umum dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi sebab-sebab datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan musuh-musuh Allah yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-budaya buruk yang bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.

Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan berkah kepada kita dan kepada para ulama disini, juga ulama-ulama lain di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih menjaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang menganugerahi taufiq dan ampunan.
Hikmah yang terpendam
Pandangan utuh perihal tema khilafah diulas Habib Umar bin Hafizh dengan amat gamblang. Diantara yang dapat kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhilafahan yang lurus setelah 30 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW adalah berita yang disampaikan Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi apa yang beliau pesankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat ditakwil akan kekufurannya.

Sekalipun makna dari redaksi-redaksi kalimat yang terkait dengan kekhilafahan dalam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satupun yang menggalang gerakan khusus untuk mendirikan khilafah yang mencontoh kekhilafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua hidup ditengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?”

Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan paradai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya, pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai berkata-kata lewat karya-karyanya dan enggan berusaha keras demi tegaknya khilafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang terpenting)? Tentu bukan demikian. Mereka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul bahwa bukan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.

Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar belakang psikologis semacam itu. Pemicunya, akumulasi ketidak percayaan terhadap penyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kunjung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat:bila khilafah berdiri, insya Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?

Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kandungan. Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Disinilah pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal keilmuan, kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukuran keberhasilan dakwah seseorang, bukan yanglainnya. Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada amal dan hatimu.” (HR. IbnuMajah)

Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sempat menyinggung, “Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitahukan Rasulullah SAW.” Ia tak memperjelas lebih jauh maksud “akan” disitu, apakah relatif terhadap masa dirinya ataukah masa Rasulullah. Tampak disini bahwa ia pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti ajaran Rasulullah SAW ini adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ataukah pada masa menjelang hari kiamat kelak. Yang ingin Habib Umar tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapapun, “Kabar tentang khilafah ini tidak bertentangan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya…”

Pelajaran dari umat-umat terdahulu menunjukkan bahwa, karena kesungguhan mereka mengikuti petunjuk syari’atnya dan melaksanakan tugas khilafah ruhaniyah yang diemban setiap manusia dalam lingkupnya masing-masing dan menjadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya selama 950 tahun.

Serangkaian tulisan ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti kalangan Alawiyyin, Nahdhiyyin, dan unsur-unsurumat lainnya di lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini. Intinya, terus berbuat dan berbuat hal yang nyata di tengah masyarakat secara ikhlas, lillahi Ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan masyarakatnya, bukan institusi kenegaraannya.
                                                                       وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah)akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

wallahuaklam bishoaf



NB: di kutip dari tulisan yang ber judul "Khilafah Yang Tak Butuh Singgasana "Khalifah". Disarikan dari Mau’izhah Habib ‘Umar bin Hafizh di depan Majelis Muwashalah bayna Al-‘Ulama wa Al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009 | Majalah Alkisah, Tahun X/ No.17/ 20 Agustus - 2 September 2012, hal. 45-57

Selasa, 28 Mei 2013

HASIL RISET PENYEMBELIAN HEWAN SECARA ISLAMI TIDAK MENYAKITI HEWAN

Hasil riset menbuktikan bahwa Penyembelihan hewan dengan cara Islami terlihat penuh darah dan mengerikan. Banyak yang mengatakan hal ini dari beberapa kalangan tertentu mengatakan cara seperti ini tidak manusiawi dan sadis.Tapi kini setelah di adakan penelitian bahwa hal ini membuktikan, bahwa cara membunuh seperti ini justru yang paling baik untuk hewan. Dalam laporan hasil penelitian yang dilansir Islamweb.net, disebutkan bahwa meyembelih hewan dengan cara islami terutama yang di lakukan orang muslim pada saat iaddul adha ini ,tidaak menyebabkan hewan merasakan rasa sakit saat disembelih. Sebab ketika urat nadi yang terletak di bagian depan tenggorokan digorok, hewan akan segera kehilangan kesadaran, sehingga tidak mungkin merasakan sakit. 

Pertanyaan yang sering terlontarkan oleh sebagian kalangan tentang Soal gerakan kejang-kejang yang umumnya terjadi saat hewan disembelih, menurut hasil studi penelitian , Hal itu bukan karena wujud rasa sakit. Penemuan hasil penelitian menjelaskan, bahwa saat pembuluh darah putus, otak tidak lagi menerima aliran darah, tapi otak besar masih tetap hidup, sistem saraf di belakang leher juga masih terkait dengan semua sistem tubuh. 

Akibatnya, sistem saraf mengirimkan sinyal ke jantung, otot, usus dan seluruh sel tubuh untuk mengirim darah ke otak besar. Pengiriman darah ke otak besar inilah yang membuat pergerakan sporadis saat hewan disembelih. 

Darah yang mengalir ke otak besar ke luar melalui lubang sembelihan di leher. Hewan mati ketika darahnya habis. Seluruh rasa sakit tidak dirasakan lagi, karena hewan hilang kesadaran ketika urat nadinya putus. 

Namun hal ini berbeda dengan mematikan hewan dengan cara lain, misalnya dipukul atau dicekik. Saat dicekik hewan bisa mengalami kesakitan akibat pusing yang hebat karena darah tidak bisa mencapai otak. 

Jika dipukul, hewan mati dengan darah masih dalam tubuh. Hal ini menyebabkan membran yang melapisi usus besar kehilangan kemampuan mempertahankan bakteri. Dengan demikian, bakteri menembus tubuh hewan, berkembang dalam darah dan menyebar ke seluruh daging. 

Pengukuran Secara Ilmiah 

Pengukuran ukur secara ilmiah telah di teliti oleh para ahli .Salah satunya yang di lakukan dan dibuktikan oleh penelitian Profesor Wilhelm Schulze dan rekannya, Dr Hazem, dari Universitas Hanover, Jerman, pada 1978. Hasil penelitian mereka di publikasikan pada jurnal mingguan kedokteran hewan Deutsche Tieraerztliche Wochenschrift, Dari hasil 
penelitian ini membuktikan bahwa metode penyembelihan lebih aman dibanding pemukulan atau cara jagal lainnya.

Dua peneliti itu menggunakan alat electroencephalograph (EEG) dan elektrokardiogram (EKG) untuk menguji dua metode penjagalan hewan. caranya dengan menanamkan beberapa elektroda di berbagai tengkorak hewan bahkan sampai ke permukaan otak. 
Sepanjang uji coba dua alat itu merekam kondisi otak dan jantung pada dua metode itu. Hasilnya, untuk metode penyembelihan, tiga detik setelah disembelih, EEG tidak menunjukkan perubahan grafik dari saat sebelum disembelih. Ini menunjukkan hewan tidak merasakan sakit selama saat itu. 
Lantas, tiga detik berikutnya, EEG mencatat hewan dalam kondisi tak sadarkan diri akibat darah yang terkuras. 

Setelah enam detik, EEG mencatat level nol, penanda hewan tidak merasakan sakit apapun. Sementara EEG turun ke level nol, jantung hewan masih berdebar dan tubuh kejang-kejang bersamaan darah terkuras. 
Karena darah terkuras, bakteri tak bisa berkembang dalam tubuh hewan. Maka menurut pengukuran ini, hewan dengan metode penyembelihan sangat sehat untuk dikonsumsi. 

Bagaimana dengan pengukuran metode barat? 

Dengan pemukulan, memang hewan jadi tak sadar. Namun pengukuran EEG menunjukkan hewan mengalami sakit parah, jantung hewan berhenti berdetak lebih awal dibandingkan hewan dengan metode penyembelihan. Kondisi ini mengakibatkan pengendapan darah dalam daging, konsekuensinya tidak sehat bagi konsumen. 




Jumat, 10 Mei 2013

puasa bulan rajab apa ada dalilnya ...? apa hukumnya?

1 Rajab 1434 (Sabtu, 11 Mei 2013) 

Rajab adalah bulan ke tujuh dari penanggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj  Nabi Muhammad  shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya secara berurutan  adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab. 

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”


Hukum Puasa Rajab

Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab. 

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut as-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan  berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab).

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum  di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam  Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan  muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan, telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).


Hadis Keutamaan Rajab

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab: 

• Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

• "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

• Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana  berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."

• "Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".

• Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku." 

• Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

 Doa Memasuki Bulan Rajab
Rasulullah Saw. biasa mempersiapkan diri dalam menyambut bulan puasa jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan ketika beliau melihat awal bulan Rajab, dua bulan sebelum Ramadhan, beliau telah mempersiapkan diri secara ruhani. Beliau menundukkan hati dan menancapkan niat yang suci melalui doanya: “Allaahummaa bariklanaa fii Rajaba wa Sya’ban, wa balighnaa Ramadhan”. “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan”. (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Mali
Dan pada bulan ini banyak sekali amalan yang bisa di amalkan dan di jalani oleh kaum muslimin selain berpuasa  .


☆Amalan Bulan Rajab☆
بسم الله الرحمن الرحيم
Istighfar Bulan Rajab
>setiap selesai shalat fardhu membaca istigfar berikut 70 x dengan mengangkat kedua tangan
“Allahummaghfirli warhamni wa tub ‘alayya
Ya Allah, Ampunilah Aku, kasihilah aku, dan terimalah tobatku
Tasbih Bulan Rajab
>Mulai tanggal 1 sampai 10 Rajab membaca tasbih berikut 100X setiap hari
“Subhaanal-laahil-hayyil-qayyum”
Maha suci Allah,Yang Mahahidup lagi Maha Mengurus hamba-Nya.
>Mulai tanggal 11 sampai 20 Rajab membaca tasbih berikt 100X setiap hari
” Subhaanal-laahil-ahadish-shamad”
Mahasuci Allah, Yang Maha Esa dan tempat meminta.
>Dan mulai tanggal 21 sampai 30 Rajab membaca tasbih berikut 100X setiap hari
” Subhaanal- laahir -ra’uf”
Mahasuci Allah Yang Maha Belas Kasih
jumat 3 Juni 2011 tepat 1 Rajab
hamba pendosa ini mengajak kita semua semakin memperbaiki diri menuju kehidupan yg abadi

Jumat, 18 Januari 2013

Penggalian Situs Dihentikan



DEMAK- Penggalian situs di Dukuh Trangkil, Desa Kuncir, Kecamatan Wonosalam dihentikan untuk menghindari kerusakan. Menyusul temuan situs di lahan persawahan milik H Lawi, warga terus menggali lokasi temuan. Beberapa bentuk bangunan mulai terlihat dengan tatanan batu merah kuno dengan ukuran besar. Terakhir muncul beberapa tangga yang berderet, dan sebuah sumur.

Bahkan beberapa bata merah yang pecah atau sebagian yang dikembalikan oleh warga, dikumpulkan di lokasi sebelah selatan. “Kita hentikan penggalian atas permintaan pemilik lahan,“ ucap Sukamto alias Cebleng, warga Mrisen.

Terpisah, Kepala Desa Mrisen Muhamad Kusnin, menyatakan ternyata lokasi situs bukan wilayah Desa Mrisen namun masuk kawasan Desa Kuncir yang merupakan tetangga desa. “Memang pemiliknya orang Mrisen namun lokasi situs sudah masuk Desa Kuncir,” ungkap Kusnin. Lokasi situs cukup unik, hanya lahan satu bahu (0,6 hektar) yang masuk di wilayah Desa Mrisen, namun lahan itu berdasarkan peta desa masuk di Desa Kuncir.

Lanjut Kusnin, dulu lahan itu memang masuk Desa Mrisen, namun karena persoalan desa masa lalu, yaitu ketika pemangku adat dulu akan menikahkan anaknya dengan mas kawin lahan itu, ternyata pernikahan batal. Dan pemangku adat berikrar seluruh keturuan Desa Mrisen tak boleh menikah dengan warga dari Dukuh Trangkil, hingga sekarang warga tak berani melanggar ikrar itu.

Menurut Kusnin lokasi situs memang banyak ditemukan barang sejarah, puluhan tahun lalu berdiri sebuah arca dewa tanpa kepala, namun tiga tahun lalu sudah dibawa oleh Dinas Pariwisata Demak. Dan ada beberapa arca kecil sudah dijarah oleh warga.

Sungai Lebar
Antara lokasi arca dan lokasi situs saat ini dipisahkan oleh sungai afour, namun sekitar 50 tahun lalu sungai itu sangat besar, selebar 25 meter. Dan sungai itu menyambung ke wilayah Proto, Kabupaten Pati. Terkait penemuan situs bata merah, Kades Kuncir Selamet Wartoyo menambahkan, sekitar dua bulan lalu, dari pemukiman warga sekitar 100 meter dari temuan situs, juga ditemukan tumpukan batu merah sedalam dua meter. Karena warga terkait akan membuat jamban, tumpukan bata itu dibiarkan sekalian menjadi jamban.

Dan dua ratus meter dari situs terdapat sumur bernama sumur Pahit, karena kualitas air bersihnya bagus, warga memasang pipa pompa air dan menutup sumur itu. Seterusnya 500 meter dari situs baru itu, warga lain juga menemukan batu merah sedalam 2 meter. “Namun warga terkait menutup kembali dengan tanah dan membiarkan lahan itu menjadi dadah suwung (lahan terbuka),” jelas Wartoyo.

Dari temuan-temuan itu, Wartoyo menduga ada situs yang membentuk tapal kuda melengkung setengah lingkaran. Terkait temuan tersebut dirinya juga khawatir akan muncul berbedaan pendapat antarpenganut kepercayaan.

Beruntung kemarin, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah sempat menyurvei dan menyarankan untuk menghentikan penggalian.

Situs Pilangrejo wonosalam Demak Mirip Pura



DEMAK- Situs Pilangrejo mirip pura. Desain bangunannya hampir sama dengan Menara Kudus. Situs yang ditemukan di Dukuh Demung Lor, Desa Pilangrejo, Kecamatan Wonosalam tiga minggu lalu, mulai terlihat bentuknya. Bangunan situs mirip pura atau tempat ibadah umat agama Hindu, desain bangunannya hampir sama dengan Menara Kudus.

Sejak kali pertama ditemukannya situs itu, warga setempat terus menggali lokasi temuan. “Kami biayai penggalian dari hasil parkir dan uang sumbangan,” ungkap Kepala Dusun Desa Pilangrejo Sutrisno, kemarin. Warga yang sudi menggali akan menerima bayaran sepantasnya.

Dan di kedalaman dua meter, bentuk situs mulai terlihat. Dengan bentuk menyerupai pura, namun kondisi di atas terlihat porak poranda. Tampak tatanan bata merah terlihat berserakan. Namun dibawahnya terlihat bentuk lengkukan pura sama dengan yang dilakukan ‘arsitek’ jaman Majapahit.

Bangunan di atasnya berbentuk bujur sangkar seluas 4 meter persegi. Terus turun terlihat tatanan bata yang bervarisi sebagian bata persegi tertata rapi, dibawahnya terdapat bata berbentuk lonjong, sehingga terlihat semacam relief.

Ada kondisi yang unik di situs tersebut, bangunan pura seperti dilindungi lapisan putih yang sengaja diplester oleh orang masa dulu, sebagai pelindung tembok bangunan dari curahan hujan atau panas. Sehingga bata yang tertata rapi tak mudah terkena lumut atau runtuh.

“Penemuan situs juga aneh, melalui mimpi Sutarjan untuk menggali lokasi tersebut,” ungkap Sunarto (40), warga Desa Pilangrejo. Setelah itu warga setempat, Sugiyanto menggali tanah di sawah milik Sutarjan, selajutnya ditemukanlah situs tersebut.

Menurut Kades Pilangrejo, Tugiman, pihaknya telah melaporkan temuan tersebut ke Dinas Pariwisata Demak dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. “Saran dari BP3 kami dipersilakan untuk menggali namun tidak merusak atau merubah kondisi situs, bila perlu lokasi situs dibuatkan pagar pelindung,” ungkapnya.

Selanjutnya, BP3 akan mengirim Tim Grafis untuk menggambar dari bentuk bangunan situs dan akan mendokumentasikannya, nanti dari BP3 dibuatkan kesimpulan situs tersebut berbentuk bangunan sejenis gapura atau bangunan lain.

Kesimpulan sementara, diperkirakan situs berdiri sebelum abad 15. Dan BP3 juga merasa heran terkait pelindung putih di bangunan situs, baru kali ini menemukannya, berbeda dengan bangunan sejarah yang ditemukan di Pulau Jawa. Kemungkinan dari keunikan tersebut menunjukan saat dibangun situs sudah ada kemajuan peradaban atau teknologi.

Ditemukan Situs di Mrisen Demak



Mirip Situs Jatirogo

DEMAK- Setelah geger temuan situs di Desa Jatirogo Kecamatan Bonang, ganti di wilayah persawahan Desa Mrisen, Kecamatan Wonosalam ditemukan semacam bangunan diduga situs bersejarah.

Situs ditemukan di galian sedalam satu meter dari lahan sawah milik H Lawi, warga RT 01/RW 01 Desa Mrisen. Tekstur situs masih sama dengan temuan di wilayah lain, terdapat bata merah yang tertata miring dan rapi membentuk anak tangga.

Kali pertama situs ditemukan oleh H Lawi. Menurut dia berasal dari pesan sebuah mimpi yang ditemui oleh seseorang, berpesan agar menggali lahan sawahnya, ada sebuah barang yang harus diambil dan dilestarikan.
“Dalam mimpi itu saya dipesan disuruh menggali, dan memberikan hasil temuan nanti ke Dinas Pariwisata atau museum untuk dilestarikan,” ungkap H Lawi, Selasa (16/10). Dalam mimpi seseorang yang menemuinya mengatakan ”ono barang dang diduduk lan direkso kanthi apik(ada barang segera digali dan dilestarikan-red).

Sukamto alias Cebleng warga Mrisen menambahkan, setelah H Lawi bermimpi, selanjutnya disampaikan kepada dirinya, sehingga dia bersama pemuda lain mencoba mencari lokasi itu untuk membuktikan kebenaran dari mimpi tersebut.

“Dan H Lawi yang menunjukkan lokasi pertama untuk digali, setelah itu kami meneruskannya, dan menemukan bata merah yang tertata ini,” ungkapnya. Penemuan situs tersebut banyak mengundang perhatian warga, mereka berbondong-bondong ingin menyaksikan hasil penemuan itu. Beberapa warga yang penasaran atas temuan itu, turut berusaha menggali lokasi situs dengan hati-hati. Sejumlah anak-anak dan ibu-ibu turut menyemangati para pekerja itu.

Sementara bata merah yang ditemukan di Desa Mrisen ada kemiripan dengan bata merah dari Desa Jatirogo, dengan ukuran yang besar. Di galian pertama sudah menemukan semacam anak tangga yang tertata miring mirip dengan arsitektur Majapahitan.

Kepala Desa Mrisen Muhamad Kusnin mengatakan, seusai warganya melapor atas temuan situs, dirinya segera mengimbau jangan merusak keberadaan situs tersebut. “Lalu saya laporkan hal ini ke Polsek agar ada pengamanan,” ungkapnya.

Keberadaan situs terus di gali oleh warga, beberapa bata merah ada yang pecah karena terkena linggis atau pacul, bahkan di sekitar temuan terdapat sejenis keramik namun sudah pecah. Dan warga terus berhati-hati memilah tanah dan situs. Kendati tidak diberi garis police line namun kesadaran warga cukup tinggi, terbukti tak satupun tertarik untuk membawa bata tersebut.

Menanggapi soal temuan situs, Kepala Dinas Pariwisata Demak H Ridwan mengatakan, bila dinasnya sebatas hanya melaporkannya ke Badan Purbakala Jawa Tengah. Diharapkan laporan tersebut segera ditindak lanjuti untuk disurvei.

Rabu, 02 Januari 2013

PEMULUNG ILMU HARUSKAH PANDANG TEMPAT MULUNG



Pada dasarnya menuntut ilmu adalah fardhu ain hal ini merupakan perbuatan yang mulia. Kepada siapapun, ilmu apapun, di manapun, dan kapanpun dari manusia turun dari ayunan hingga ke liang lahat . Dalam dunia ini tak ada ilmu yang jelek ,hitam atau tercela, Kalaupun ada beberapa ilmu yang tercela, tapi menurut Imam al-Ghazali, dia tercela bukan karena posisinya sebagai ilmu, tapi karena efek dari ilmu tersebut yang bisa mengakibatkan terjadinya keburukan-keburukan jika dipegang oleh orang yang salah.


Bagi orang mukmin, pengetahuan tak ubahnya barang miliknya yang hilang. Maka, di manapun, dia menemukan barang hilang itu, sudah seharusnya dia memungutnya. Begitulah wejangan Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis. Jadi, dalam masalah ilmu pengetahuan, pada dasarnya, seseorang tidak dilarang mengambilnya dari manapun dan dari siapapun, asalkan hal itu tidak melahirkan akibat-akibat negatif, khususnya bagi agama dan moral.


Asumsi adanya akibat negatif inilah yang menyebabkan adanya fatwa dari kalangan ulama modern yang mengharamkan studi ke negeri-negeri non Muslim, kecuali karena ada kepentingan yang mendesak.
Menurut Syekh Zakariya al-Anshari, hukum orang Islam yang tinggal di negeri non Muslim, tergantung kondisinya. Kondisi pertama, di negeri tersebut ia tidak bisa menampakkan keislamannya atau melaksanakan ajaran Islam secara bebas. Dalam kondisi ini, ia harus pergi dari sana, berhijrah ke negeri kaum Muslimin, apabila mampu dan memungkinkan. Kondisi kedua, ia bisa menampakkan keislamannya, bisa menjaga keselamatan atau membela diri dari gangguan orang-orang kafir, dan bisa mendirikan komunitas yang terpisah dari mereka. Dalam kondisi ini, ia harus menetap di sana, tidak boleh pergi, sebab jika pergi sama saja dengan memberikan hadiah tanah kepada mereka. Ketiga, ia bisa menampakkan keislamannya, tapi tidak bisa menjaga keselamatan diri, dan tidak bisa mendirikan komunitas yang terpisah dari mereka. Dalam kondisi ini, ada tiga pemilahan. Jika keberadaannya di sana kira-kira bisa menyebabkan Islam tumbuh berkembang, maka ia dianjurkan menetap. Jika hijrahnya ke negeri kaum Muslimin bisa membantu kekuatan mereka, maka dianjurkan hijrah. Jika dua keuntungan itu sama-sama mungkin terjadi, maka ia bisa memilih salah satunya.



Yang jelas oleh Syekh Zakariyah al-Anshari di atas adalah mengenai orang Islam yang aslinya memang tinggal di negeri non Muslim. Lalu, bagaimana dengan orang Islam yang hendak melakukan studi ke negeri-negeri non Muslim? Kira-kira hukumnya tidak jauh beda, atau bahkan lebih berat. Sebab, menurut beberapa ulama Hanafiyah, datang dan menetap di negeri non Muslim, memiliki pontensi bahaya yang sangat besar terhadap akidah. Oleh karena itu, mengenai hukuman yanfau minal-ardhi (diasingkan) untuk para penyamun seperti ditegaskan oleh al-Qur’an, tidak sedikit ulama yang menafsirkannya dengan penjara. Sebab, jika maksud diasingkan di situ, adalah diasingkan dari negeri Muslim (ke negeri non Muslim), maka hal itu sangat berbahaya bagi akidahnya.


Rasulullah SAW pernah bersabda, 
إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ ظَهْرَانِي الْمُشْرِكِيْنَ. قَالُوا: يَارَسُوْلَ اللهِ, وَلِمَ ؟
قَالَ: لَاتَرَاءى نَارَهُمَا.

Aku bebas (tanggungan) dari orang Islam yang tinggal di tengah-tengah masyarakat musyrik.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, karena apa?” Beliau menjawab, “Di antara mereka tidak boleh saling melihat api masing-masing.” (HR. at-Thabrani dan an-Nasa’i).


Mengomentari Hadis ini, Imam as-Suyuthi menyatakan bahwa orang Islam berkewajiban untuk menjauh dari tempat tinggal orang-orang musyrik. Dia semestinya tinggal di tengah-tengah kaum Muslimin.
Melihat berbagai pendangan ulama ini, setidaknya ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh orang Islam yang hendak studi ke negeri-negeri non Muslim. Yang pertama, adanya kepentingan yang mendesak, khususnya yang terkait dengan kepentingan umum umat Islam. Misalnya, menyangkut pengetahuan-pengetahuan teknologi dan sain yang harus dikembangkan oleh masyarakat Muslim. Dalam beberapa Hadis sahih diceritakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani dan bahasa orang-orang Yahudi. Penguasaan terhadap bahasa internasional sangat diperlukan pada saat itu, karena beliau sedang gencar melakukan dakwah melalui korespondensi dengan berbagai bangsa, seperti bangsa Koptik, Yahudi, Romawi, Persia, dan lain sebagainya.



Ketika menjadi khalifah, Sayidina Umar bin al-Khatthab juga sempat memberikan dispensasi untuk mendatangkan Abu Lu’luah ke Madinah, sebab dia memiliki kemampuan yang mumpuni dalam teknologi pembuatan senjata dan kincir angin yang sangat diperlukan oleh umat Islam saat itu. Padahal, pada waktu itu, Sayidina Umar menetapkan larangan masuknya non Muslim dari luar ke Madinah, untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan stabilitas politik.


Kedua, orang yang hendak belajar ke negeri non Muslim atau negeri-negeri yang menjadi pusat aliran menyimpang, harus memiliki kemantapan iman dan kemantapan ilmu agama. Berkumpul dengan orang non Muslim, orang-orang fasik, atau penganut aliran yang menyimpang, bisa menyebabkan tipisnya ghirah (kepedulian dan kefanatikan terhadap kebaikan dan kebenaran). Bahkan, jika tidak memiliki landasan ilmu dan prinsip yang kuat, sangat besar kemungkinan dia akan terpengaruh dan akan menjadi pengikut mereka. Munculnya aliran menyimpang dalam Islam, seperti Qadariyah, adalah buah dari pengaruh orang-orang non Muslim terhadap Ma’bad al-Juhani, seorang tokoh intelektual Muslim yang sering berkumpul dengan mereka.


Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهَ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ

Orang yang berkumpul dan tinggal dengan orang musyrik, maka dia sama dengannya.”(HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Samurah bin Jundab).


Ketiga, di tempat tersebut dia bisa menampakkan keislaman, dengan arti bisa melaksanakan ajaran Islam dengan bebas. Orang Islam pribumi sekalipun, jika tidak bisa melaksanakan ajaran Islam dengan bebas, dia harus hijrah dari negeri non Muslim dan tidak boleh tinggal di sana. Apalagi, orang Islam dari negeri lain yang hendak datang ke sana, maka secara otomatis larangannya jauh lebih tegas.


Selain tiga pertimbangan pokok di atas, juga terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat kondisional, disesuaikan dengan berbagai prinsip-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama ketika terjadi ta’arudh (pertentangan) antara sisi maslahat dan sisi mudarat.


Sudut pandang yang kurang lebih sama, juga bisa diterapkan dalam konteks studi ke negeri Muslim yang menjadi pusat aliran menyimpang atau perbuatan maksiat, semisal Syiah, Liberalisme, dan semacamnya—meskipun bobot larangannya tentu saja lebih ringan daripada studi ke negeri non Muslim. Imam ar-Ramli menyatakan bahwa, berhijrah yang menjadi tempat kemaksiatan adalah berhukum sunat, jika ia tidak bisa memberantas kemaksiatan tersebut. Hukumnya tidak sampai pada hukum wajib seperti berhijrah dari negeri non Muslim. Hukum inipun bisa berubah menjadi lebih ringan atau lebih berat, apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu yang tidak wajar.


Walhasil, tawaran studi ke negeri lain yang tidak seakidah, harus disikapi dengan pertimbangan matang , esktra waspada dan  persiapan ilmu agama yg mendalam guna membentengi diri serta harus  memperkuat iman diri . Bukan malah diterima dengan sikap bangga hanya karena melihat kemajuan yang telah mereka capai. Setinggi apapun sebuah kemajuan duniawi, jika tidak disertai dengan keyakinan yang benar dan moral yang baik, hanya akan menambah kejahiliahan sebuah bangsa dari waktu ke waktu. “Islam itu tinggi, dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya,” sabda Rasulullah Muhammad SAW.

wallahua'lam bisshoaf

21   Safar  1434 H
03  Jan      2013M

Selasa, 01 Januari 2013

MALAM NISHFU SYA'BAN



  1. Ada banyak hadis dan perkataan para ulama terkait dengan keutamaan malam nishfu Sya’ban, diantaranya:
  2. Aisyah berkata pada satu malam Rasulullah hilang dari rumah tiba-tiba beliau sudah ada di Baqi’, Aisyah merasa kehilangan Rasulullah, kemudian Rasulullah bertanya, “apakah kamu takut kehilangan aku ?” Aisyah menjawab, “saya kira baginda Rasul ke bumi istri lain.” Kemudian Rasulullah menjawab, “malam nishfu sya’ban adalah malam di mana Allah mendekati bumi, dan akan diampuni dosa orang-orang walaupun sebanyak kerumunan kambing milik Bani Kalb. (tidak bisa dihitung). HR. Tirmidizi, diambil dari kitab Jami’ al Ushul. Imam Bukhori mengatakan hadis ini dha’if
  3. Rasulullah saw. bersabda: “Apabila sudah datang malam nishfu sya’ban, maka shalatlah malamnya dan puasalah siangnya. Kemudian Allah berfirman, “Adakah diantara kalian yang memiliki dosa? Maka akan saya ampuni dosanya, dan siapapun yang sakit pada malam itu, saya akan memberikan kesembuhan kepadanya.” (HR. Ahmad dan Nasai ) Hadis ini tidak shahih.
  4. Mengenai hadis nomor dua, Ibnu Hajar al Haitami mengatakan dalam sanad hadis tersebut adalah tidak terkenal perawinya dan tidak boleh disebutkan perawinya, imam Suyuthi mengatakan itu adalah hadis palsu, imam Syaukani mengatakan dalam kitab al-Muwatha imam Malik terdapat hadis tesebut, tapi termasuk pada kelompok hadis maudhu’
  5. Ada juga hadis yang megatakan apabila telah sampai nishfu Sya’ban maka tidak boleh puasa sampai datang bulan Ramadhan. Hadis ini sebagian ulama ada yang mengatakan shahih ada pula yang mengatakan tidak shahih
  6. Menurut Ibnu Taimiyah, ada pernyataan para sahabat bahwa malam nishfu Sya’ban itu memiliki kelebihan, selanjutnya ulama salaf memanfaatkan malam nisfu Sya’ban dengan memperbanyak shalat sunat. Berita tersebut adalah shahih, tetapi puasa pada hari nishfu Sya’ban secara khusus tidak ada hadisnya dan dimakruhkan.
  7. Dalam kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali tentang shalat nishfu, dianjurkan shalat 100 rakaat, pada stiap 2 rakaat 1 salam, setiap rakaat dibaca al ikhlas 11x. Atau melaksanakan shalat sebanyak 10 rakaat, dan setiap rakaat dibacakan surah al-Ikhlas sebanyak 100x. Shalat tersebut dinamakan dengan shalat al khair.
  8. Imam Hasan mengatakan ada 30 sahabat yang menyampaikan kepada saya, siapa yang shalat yang demikian jawbannya maudhu’. Dan Imam al-Iraki mengatakan hadis tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu hadis bathil.
  9. Imam syafi’I berkata, ada yang menyampaikan kepada kami ada doa mustajabah di lima malam. Yaitu Malam jumat, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam awal pada bulan Rajab, dan malam nishfu Sya’ban. Disebutkan dalam kitab raudhah, juga tertulis dalam dalam kitab talkhis al khabir Ibnu Hajar al-Asqalani,
  10. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan tidak dianjurkan shalat nishfu Sya’ban secara berjamaah, tetapi dalam riwayat lain dianjurkan karena Yazib bin Aswad seorang ulama tabi’in melakuakannya.
  11. Berdasarkan keterangan di atas, Bisa disimpulkan bahwa ulama salaf meramaikannya dengan memperbanyak shalat dan punya banyak fadhilah. Adapun membaca surah Yasin dan doa khusus itu adalah karangan para ulama tasawuf akan tetapi bukan hadis. Amalan-amalan dan doa-doa tersebut boleh dibaca dan tidak ada masalah.
  12. Dalam kitab al atsar al marfu’ah fi hadis al maudhu’ah, hadis Aisyah (nomor 1) tersebut tidak shahih. Tetapi Ibnu Hajar mengartikan bahwa waktu itu Rasulullah saw. banyak beribadah dan memperbanyak membaca doa. Kesimpulannya kalau berdasarkan hadis dia atas, maka dianjurkan untuk memperbanyak ibadah.
  13. Wallahu Ta’ala A’lam

10 KERUSAKAN DALAM PERAYAAN TAHUN BARU



10 KERUSAKAN DALAM PERAYAAN TAHUN BARU

[[ SILAHKAN DIBACA SAMPAI SELESAI ]]

[Bagi yang mau menerima nasehat, silakan dibaca. Bagi yang hatinya keras, semoga Allah beri hidayah dan JANGAN LUPA Bagikan/Share setelah baca]


Manusia di berbagai negeri bahkan dunia sangat antusias setiap kali menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali dirayakan ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.


“The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
Begitulah bunyi The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237 ketika menjelaskan makna tanggal 1 Januari. Perayaan tahun baru 1 Januari ternyata memiliki sejarah panjang di mana orang Romawi mempersembahkan tanggal ini kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan waktu.
Tidak heran, bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah; wajah yang menghadap ke masa depan dan wajah lainnya menghadap ke masa lalu.

Maka jika kita melihat perayaan tahun baru, maka di situlah kita dapat melihat nilai-nilai Yahudi masuk di dalamnya. Meniup terompet misalnya, kita sangat faham bahwa terompet adalah alat ciptaan Yahudi. Semula, budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut datangnya Rosh Hasanah atau tahun baru Taurat, yang jatuh pada bulan ketujuh atau tanggal 1 bulan Tishri dalam kalender Ibrani kuno.

Hal ini pun terpampang jelas dalam Alkitab Imamat 23;24:

“Katakanlah kepada orang-orang Isra’el, begini: Dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari perhentian penuh yang diperingati dengan meniup serunai (terompet), yakni hari pertemuan kudus” (Imamat 23:24)

Hingga kini kelompok Freemason terus menggelar perayaan ini (PERYAAN TAHUN BARU). Para masonik di belahan dunia pun dikabarkan sudah berkumpul di beberapa loji untuk menyambut tahun baru ini.

Mereka siap memasuki tahun 2013 untuk mempersiapkan The New World Order. “Happy New Year 2013 to all Freemason in the world,” bunyi laman Masonictimes.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.”[2]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).[3]

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”[4]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[5] [6]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.

“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”[7]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam
Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”[8]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu / lupa sholat magrib & isya'
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.[9] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[11]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[12] Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[13]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.[14] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isra’: 26-27).

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”[15] Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[16]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[17] Wallahu walliyut taufiq.

------------------------------------------------------------------
Info admin coba2 buat website tapi masih dalam perbaikan Bagaimana menurut anda ?