diary

diary

**

Jumat, 18 Januari 2013

Penggalian Situs Dihentikan



DEMAK- Penggalian situs di Dukuh Trangkil, Desa Kuncir, Kecamatan Wonosalam dihentikan untuk menghindari kerusakan. Menyusul temuan situs di lahan persawahan milik H Lawi, warga terus menggali lokasi temuan. Beberapa bentuk bangunan mulai terlihat dengan tatanan batu merah kuno dengan ukuran besar. Terakhir muncul beberapa tangga yang berderet, dan sebuah sumur.

Bahkan beberapa bata merah yang pecah atau sebagian yang dikembalikan oleh warga, dikumpulkan di lokasi sebelah selatan. “Kita hentikan penggalian atas permintaan pemilik lahan,“ ucap Sukamto alias Cebleng, warga Mrisen.

Terpisah, Kepala Desa Mrisen Muhamad Kusnin, menyatakan ternyata lokasi situs bukan wilayah Desa Mrisen namun masuk kawasan Desa Kuncir yang merupakan tetangga desa. “Memang pemiliknya orang Mrisen namun lokasi situs sudah masuk Desa Kuncir,” ungkap Kusnin. Lokasi situs cukup unik, hanya lahan satu bahu (0,6 hektar) yang masuk di wilayah Desa Mrisen, namun lahan itu berdasarkan peta desa masuk di Desa Kuncir.

Lanjut Kusnin, dulu lahan itu memang masuk Desa Mrisen, namun karena persoalan desa masa lalu, yaitu ketika pemangku adat dulu akan menikahkan anaknya dengan mas kawin lahan itu, ternyata pernikahan batal. Dan pemangku adat berikrar seluruh keturuan Desa Mrisen tak boleh menikah dengan warga dari Dukuh Trangkil, hingga sekarang warga tak berani melanggar ikrar itu.

Menurut Kusnin lokasi situs memang banyak ditemukan barang sejarah, puluhan tahun lalu berdiri sebuah arca dewa tanpa kepala, namun tiga tahun lalu sudah dibawa oleh Dinas Pariwisata Demak. Dan ada beberapa arca kecil sudah dijarah oleh warga.

Sungai Lebar
Antara lokasi arca dan lokasi situs saat ini dipisahkan oleh sungai afour, namun sekitar 50 tahun lalu sungai itu sangat besar, selebar 25 meter. Dan sungai itu menyambung ke wilayah Proto, Kabupaten Pati. Terkait penemuan situs bata merah, Kades Kuncir Selamet Wartoyo menambahkan, sekitar dua bulan lalu, dari pemukiman warga sekitar 100 meter dari temuan situs, juga ditemukan tumpukan batu merah sedalam dua meter. Karena warga terkait akan membuat jamban, tumpukan bata itu dibiarkan sekalian menjadi jamban.

Dan dua ratus meter dari situs terdapat sumur bernama sumur Pahit, karena kualitas air bersihnya bagus, warga memasang pipa pompa air dan menutup sumur itu. Seterusnya 500 meter dari situs baru itu, warga lain juga menemukan batu merah sedalam 2 meter. “Namun warga terkait menutup kembali dengan tanah dan membiarkan lahan itu menjadi dadah suwung (lahan terbuka),” jelas Wartoyo.

Dari temuan-temuan itu, Wartoyo menduga ada situs yang membentuk tapal kuda melengkung setengah lingkaran. Terkait temuan tersebut dirinya juga khawatir akan muncul berbedaan pendapat antarpenganut kepercayaan.

Beruntung kemarin, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah sempat menyurvei dan menyarankan untuk menghentikan penggalian.

Situs Pilangrejo wonosalam Demak Mirip Pura



DEMAK- Situs Pilangrejo mirip pura. Desain bangunannya hampir sama dengan Menara Kudus. Situs yang ditemukan di Dukuh Demung Lor, Desa Pilangrejo, Kecamatan Wonosalam tiga minggu lalu, mulai terlihat bentuknya. Bangunan situs mirip pura atau tempat ibadah umat agama Hindu, desain bangunannya hampir sama dengan Menara Kudus.

Sejak kali pertama ditemukannya situs itu, warga setempat terus menggali lokasi temuan. “Kami biayai penggalian dari hasil parkir dan uang sumbangan,” ungkap Kepala Dusun Desa Pilangrejo Sutrisno, kemarin. Warga yang sudi menggali akan menerima bayaran sepantasnya.

Dan di kedalaman dua meter, bentuk situs mulai terlihat. Dengan bentuk menyerupai pura, namun kondisi di atas terlihat porak poranda. Tampak tatanan bata merah terlihat berserakan. Namun dibawahnya terlihat bentuk lengkukan pura sama dengan yang dilakukan ‘arsitek’ jaman Majapahit.

Bangunan di atasnya berbentuk bujur sangkar seluas 4 meter persegi. Terus turun terlihat tatanan bata yang bervarisi sebagian bata persegi tertata rapi, dibawahnya terdapat bata berbentuk lonjong, sehingga terlihat semacam relief.

Ada kondisi yang unik di situs tersebut, bangunan pura seperti dilindungi lapisan putih yang sengaja diplester oleh orang masa dulu, sebagai pelindung tembok bangunan dari curahan hujan atau panas. Sehingga bata yang tertata rapi tak mudah terkena lumut atau runtuh.

“Penemuan situs juga aneh, melalui mimpi Sutarjan untuk menggali lokasi tersebut,” ungkap Sunarto (40), warga Desa Pilangrejo. Setelah itu warga setempat, Sugiyanto menggali tanah di sawah milik Sutarjan, selajutnya ditemukanlah situs tersebut.

Menurut Kades Pilangrejo, Tugiman, pihaknya telah melaporkan temuan tersebut ke Dinas Pariwisata Demak dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. “Saran dari BP3 kami dipersilakan untuk menggali namun tidak merusak atau merubah kondisi situs, bila perlu lokasi situs dibuatkan pagar pelindung,” ungkapnya.

Selanjutnya, BP3 akan mengirim Tim Grafis untuk menggambar dari bentuk bangunan situs dan akan mendokumentasikannya, nanti dari BP3 dibuatkan kesimpulan situs tersebut berbentuk bangunan sejenis gapura atau bangunan lain.

Kesimpulan sementara, diperkirakan situs berdiri sebelum abad 15. Dan BP3 juga merasa heran terkait pelindung putih di bangunan situs, baru kali ini menemukannya, berbeda dengan bangunan sejarah yang ditemukan di Pulau Jawa. Kemungkinan dari keunikan tersebut menunjukan saat dibangun situs sudah ada kemajuan peradaban atau teknologi.

Ditemukan Situs di Mrisen Demak



Mirip Situs Jatirogo

DEMAK- Setelah geger temuan situs di Desa Jatirogo Kecamatan Bonang, ganti di wilayah persawahan Desa Mrisen, Kecamatan Wonosalam ditemukan semacam bangunan diduga situs bersejarah.

Situs ditemukan di galian sedalam satu meter dari lahan sawah milik H Lawi, warga RT 01/RW 01 Desa Mrisen. Tekstur situs masih sama dengan temuan di wilayah lain, terdapat bata merah yang tertata miring dan rapi membentuk anak tangga.

Kali pertama situs ditemukan oleh H Lawi. Menurut dia berasal dari pesan sebuah mimpi yang ditemui oleh seseorang, berpesan agar menggali lahan sawahnya, ada sebuah barang yang harus diambil dan dilestarikan.
“Dalam mimpi itu saya dipesan disuruh menggali, dan memberikan hasil temuan nanti ke Dinas Pariwisata atau museum untuk dilestarikan,” ungkap H Lawi, Selasa (16/10). Dalam mimpi seseorang yang menemuinya mengatakan ”ono barang dang diduduk lan direkso kanthi apik(ada barang segera digali dan dilestarikan-red).

Sukamto alias Cebleng warga Mrisen menambahkan, setelah H Lawi bermimpi, selanjutnya disampaikan kepada dirinya, sehingga dia bersama pemuda lain mencoba mencari lokasi itu untuk membuktikan kebenaran dari mimpi tersebut.

“Dan H Lawi yang menunjukkan lokasi pertama untuk digali, setelah itu kami meneruskannya, dan menemukan bata merah yang tertata ini,” ungkapnya. Penemuan situs tersebut banyak mengundang perhatian warga, mereka berbondong-bondong ingin menyaksikan hasil penemuan itu. Beberapa warga yang penasaran atas temuan itu, turut berusaha menggali lokasi situs dengan hati-hati. Sejumlah anak-anak dan ibu-ibu turut menyemangati para pekerja itu.

Sementara bata merah yang ditemukan di Desa Mrisen ada kemiripan dengan bata merah dari Desa Jatirogo, dengan ukuran yang besar. Di galian pertama sudah menemukan semacam anak tangga yang tertata miring mirip dengan arsitektur Majapahitan.

Kepala Desa Mrisen Muhamad Kusnin mengatakan, seusai warganya melapor atas temuan situs, dirinya segera mengimbau jangan merusak keberadaan situs tersebut. “Lalu saya laporkan hal ini ke Polsek agar ada pengamanan,” ungkapnya.

Keberadaan situs terus di gali oleh warga, beberapa bata merah ada yang pecah karena terkena linggis atau pacul, bahkan di sekitar temuan terdapat sejenis keramik namun sudah pecah. Dan warga terus berhati-hati memilah tanah dan situs. Kendati tidak diberi garis police line namun kesadaran warga cukup tinggi, terbukti tak satupun tertarik untuk membawa bata tersebut.

Menanggapi soal temuan situs, Kepala Dinas Pariwisata Demak H Ridwan mengatakan, bila dinasnya sebatas hanya melaporkannya ke Badan Purbakala Jawa Tengah. Diharapkan laporan tersebut segera ditindak lanjuti untuk disurvei.

Rabu, 02 Januari 2013

PEMULUNG ILMU HARUSKAH PANDANG TEMPAT MULUNG



Pada dasarnya menuntut ilmu adalah fardhu ain hal ini merupakan perbuatan yang mulia. Kepada siapapun, ilmu apapun, di manapun, dan kapanpun dari manusia turun dari ayunan hingga ke liang lahat . Dalam dunia ini tak ada ilmu yang jelek ,hitam atau tercela, Kalaupun ada beberapa ilmu yang tercela, tapi menurut Imam al-Ghazali, dia tercela bukan karena posisinya sebagai ilmu, tapi karena efek dari ilmu tersebut yang bisa mengakibatkan terjadinya keburukan-keburukan jika dipegang oleh orang yang salah.


Bagi orang mukmin, pengetahuan tak ubahnya barang miliknya yang hilang. Maka, di manapun, dia menemukan barang hilang itu, sudah seharusnya dia memungutnya. Begitulah wejangan Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis. Jadi, dalam masalah ilmu pengetahuan, pada dasarnya, seseorang tidak dilarang mengambilnya dari manapun dan dari siapapun, asalkan hal itu tidak melahirkan akibat-akibat negatif, khususnya bagi agama dan moral.


Asumsi adanya akibat negatif inilah yang menyebabkan adanya fatwa dari kalangan ulama modern yang mengharamkan studi ke negeri-negeri non Muslim, kecuali karena ada kepentingan yang mendesak.
Menurut Syekh Zakariya al-Anshari, hukum orang Islam yang tinggal di negeri non Muslim, tergantung kondisinya. Kondisi pertama, di negeri tersebut ia tidak bisa menampakkan keislamannya atau melaksanakan ajaran Islam secara bebas. Dalam kondisi ini, ia harus pergi dari sana, berhijrah ke negeri kaum Muslimin, apabila mampu dan memungkinkan. Kondisi kedua, ia bisa menampakkan keislamannya, bisa menjaga keselamatan atau membela diri dari gangguan orang-orang kafir, dan bisa mendirikan komunitas yang terpisah dari mereka. Dalam kondisi ini, ia harus menetap di sana, tidak boleh pergi, sebab jika pergi sama saja dengan memberikan hadiah tanah kepada mereka. Ketiga, ia bisa menampakkan keislamannya, tapi tidak bisa menjaga keselamatan diri, dan tidak bisa mendirikan komunitas yang terpisah dari mereka. Dalam kondisi ini, ada tiga pemilahan. Jika keberadaannya di sana kira-kira bisa menyebabkan Islam tumbuh berkembang, maka ia dianjurkan menetap. Jika hijrahnya ke negeri kaum Muslimin bisa membantu kekuatan mereka, maka dianjurkan hijrah. Jika dua keuntungan itu sama-sama mungkin terjadi, maka ia bisa memilih salah satunya.



Yang jelas oleh Syekh Zakariyah al-Anshari di atas adalah mengenai orang Islam yang aslinya memang tinggal di negeri non Muslim. Lalu, bagaimana dengan orang Islam yang hendak melakukan studi ke negeri-negeri non Muslim? Kira-kira hukumnya tidak jauh beda, atau bahkan lebih berat. Sebab, menurut beberapa ulama Hanafiyah, datang dan menetap di negeri non Muslim, memiliki pontensi bahaya yang sangat besar terhadap akidah. Oleh karena itu, mengenai hukuman yanfau minal-ardhi (diasingkan) untuk para penyamun seperti ditegaskan oleh al-Qur’an, tidak sedikit ulama yang menafsirkannya dengan penjara. Sebab, jika maksud diasingkan di situ, adalah diasingkan dari negeri Muslim (ke negeri non Muslim), maka hal itu sangat berbahaya bagi akidahnya.


Rasulullah SAW pernah bersabda, 
إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ ظَهْرَانِي الْمُشْرِكِيْنَ. قَالُوا: يَارَسُوْلَ اللهِ, وَلِمَ ؟
قَالَ: لَاتَرَاءى نَارَهُمَا.

Aku bebas (tanggungan) dari orang Islam yang tinggal di tengah-tengah masyarakat musyrik.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, karena apa?” Beliau menjawab, “Di antara mereka tidak boleh saling melihat api masing-masing.” (HR. at-Thabrani dan an-Nasa’i).


Mengomentari Hadis ini, Imam as-Suyuthi menyatakan bahwa orang Islam berkewajiban untuk menjauh dari tempat tinggal orang-orang musyrik. Dia semestinya tinggal di tengah-tengah kaum Muslimin.
Melihat berbagai pendangan ulama ini, setidaknya ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh orang Islam yang hendak studi ke negeri-negeri non Muslim. Yang pertama, adanya kepentingan yang mendesak, khususnya yang terkait dengan kepentingan umum umat Islam. Misalnya, menyangkut pengetahuan-pengetahuan teknologi dan sain yang harus dikembangkan oleh masyarakat Muslim. Dalam beberapa Hadis sahih diceritakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani dan bahasa orang-orang Yahudi. Penguasaan terhadap bahasa internasional sangat diperlukan pada saat itu, karena beliau sedang gencar melakukan dakwah melalui korespondensi dengan berbagai bangsa, seperti bangsa Koptik, Yahudi, Romawi, Persia, dan lain sebagainya.



Ketika menjadi khalifah, Sayidina Umar bin al-Khatthab juga sempat memberikan dispensasi untuk mendatangkan Abu Lu’luah ke Madinah, sebab dia memiliki kemampuan yang mumpuni dalam teknologi pembuatan senjata dan kincir angin yang sangat diperlukan oleh umat Islam saat itu. Padahal, pada waktu itu, Sayidina Umar menetapkan larangan masuknya non Muslim dari luar ke Madinah, untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan stabilitas politik.


Kedua, orang yang hendak belajar ke negeri non Muslim atau negeri-negeri yang menjadi pusat aliran menyimpang, harus memiliki kemantapan iman dan kemantapan ilmu agama. Berkumpul dengan orang non Muslim, orang-orang fasik, atau penganut aliran yang menyimpang, bisa menyebabkan tipisnya ghirah (kepedulian dan kefanatikan terhadap kebaikan dan kebenaran). Bahkan, jika tidak memiliki landasan ilmu dan prinsip yang kuat, sangat besar kemungkinan dia akan terpengaruh dan akan menjadi pengikut mereka. Munculnya aliran menyimpang dalam Islam, seperti Qadariyah, adalah buah dari pengaruh orang-orang non Muslim terhadap Ma’bad al-Juhani, seorang tokoh intelektual Muslim yang sering berkumpul dengan mereka.


Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهَ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ

Orang yang berkumpul dan tinggal dengan orang musyrik, maka dia sama dengannya.”(HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Samurah bin Jundab).


Ketiga, di tempat tersebut dia bisa menampakkan keislaman, dengan arti bisa melaksanakan ajaran Islam dengan bebas. Orang Islam pribumi sekalipun, jika tidak bisa melaksanakan ajaran Islam dengan bebas, dia harus hijrah dari negeri non Muslim dan tidak boleh tinggal di sana. Apalagi, orang Islam dari negeri lain yang hendak datang ke sana, maka secara otomatis larangannya jauh lebih tegas.


Selain tiga pertimbangan pokok di atas, juga terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat kondisional, disesuaikan dengan berbagai prinsip-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama ketika terjadi ta’arudh (pertentangan) antara sisi maslahat dan sisi mudarat.


Sudut pandang yang kurang lebih sama, juga bisa diterapkan dalam konteks studi ke negeri Muslim yang menjadi pusat aliran menyimpang atau perbuatan maksiat, semisal Syiah, Liberalisme, dan semacamnya—meskipun bobot larangannya tentu saja lebih ringan daripada studi ke negeri non Muslim. Imam ar-Ramli menyatakan bahwa, berhijrah yang menjadi tempat kemaksiatan adalah berhukum sunat, jika ia tidak bisa memberantas kemaksiatan tersebut. Hukumnya tidak sampai pada hukum wajib seperti berhijrah dari negeri non Muslim. Hukum inipun bisa berubah menjadi lebih ringan atau lebih berat, apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu yang tidak wajar.


Walhasil, tawaran studi ke negeri lain yang tidak seakidah, harus disikapi dengan pertimbangan matang , esktra waspada dan  persiapan ilmu agama yg mendalam guna membentengi diri serta harus  memperkuat iman diri . Bukan malah diterima dengan sikap bangga hanya karena melihat kemajuan yang telah mereka capai. Setinggi apapun sebuah kemajuan duniawi, jika tidak disertai dengan keyakinan yang benar dan moral yang baik, hanya akan menambah kejahiliahan sebuah bangsa dari waktu ke waktu. “Islam itu tinggi, dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya,” sabda Rasulullah Muhammad SAW.

wallahua'lam bisshoaf

21   Safar  1434 H
03  Jan      2013M

Selasa, 01 Januari 2013

MALAM NISHFU SYA'BAN



  1. Ada banyak hadis dan perkataan para ulama terkait dengan keutamaan malam nishfu Sya’ban, diantaranya:
  2. Aisyah berkata pada satu malam Rasulullah hilang dari rumah tiba-tiba beliau sudah ada di Baqi’, Aisyah merasa kehilangan Rasulullah, kemudian Rasulullah bertanya, “apakah kamu takut kehilangan aku ?” Aisyah menjawab, “saya kira baginda Rasul ke bumi istri lain.” Kemudian Rasulullah menjawab, “malam nishfu sya’ban adalah malam di mana Allah mendekati bumi, dan akan diampuni dosa orang-orang walaupun sebanyak kerumunan kambing milik Bani Kalb. (tidak bisa dihitung). HR. Tirmidizi, diambil dari kitab Jami’ al Ushul. Imam Bukhori mengatakan hadis ini dha’if
  3. Rasulullah saw. bersabda: “Apabila sudah datang malam nishfu sya’ban, maka shalatlah malamnya dan puasalah siangnya. Kemudian Allah berfirman, “Adakah diantara kalian yang memiliki dosa? Maka akan saya ampuni dosanya, dan siapapun yang sakit pada malam itu, saya akan memberikan kesembuhan kepadanya.” (HR. Ahmad dan Nasai ) Hadis ini tidak shahih.
  4. Mengenai hadis nomor dua, Ibnu Hajar al Haitami mengatakan dalam sanad hadis tersebut adalah tidak terkenal perawinya dan tidak boleh disebutkan perawinya, imam Suyuthi mengatakan itu adalah hadis palsu, imam Syaukani mengatakan dalam kitab al-Muwatha imam Malik terdapat hadis tesebut, tapi termasuk pada kelompok hadis maudhu’
  5. Ada juga hadis yang megatakan apabila telah sampai nishfu Sya’ban maka tidak boleh puasa sampai datang bulan Ramadhan. Hadis ini sebagian ulama ada yang mengatakan shahih ada pula yang mengatakan tidak shahih
  6. Menurut Ibnu Taimiyah, ada pernyataan para sahabat bahwa malam nishfu Sya’ban itu memiliki kelebihan, selanjutnya ulama salaf memanfaatkan malam nisfu Sya’ban dengan memperbanyak shalat sunat. Berita tersebut adalah shahih, tetapi puasa pada hari nishfu Sya’ban secara khusus tidak ada hadisnya dan dimakruhkan.
  7. Dalam kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali tentang shalat nishfu, dianjurkan shalat 100 rakaat, pada stiap 2 rakaat 1 salam, setiap rakaat dibaca al ikhlas 11x. Atau melaksanakan shalat sebanyak 10 rakaat, dan setiap rakaat dibacakan surah al-Ikhlas sebanyak 100x. Shalat tersebut dinamakan dengan shalat al khair.
  8. Imam Hasan mengatakan ada 30 sahabat yang menyampaikan kepada saya, siapa yang shalat yang demikian jawbannya maudhu’. Dan Imam al-Iraki mengatakan hadis tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu hadis bathil.
  9. Imam syafi’I berkata, ada yang menyampaikan kepada kami ada doa mustajabah di lima malam. Yaitu Malam jumat, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam awal pada bulan Rajab, dan malam nishfu Sya’ban. Disebutkan dalam kitab raudhah, juga tertulis dalam dalam kitab talkhis al khabir Ibnu Hajar al-Asqalani,
  10. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan tidak dianjurkan shalat nishfu Sya’ban secara berjamaah, tetapi dalam riwayat lain dianjurkan karena Yazib bin Aswad seorang ulama tabi’in melakuakannya.
  11. Berdasarkan keterangan di atas, Bisa disimpulkan bahwa ulama salaf meramaikannya dengan memperbanyak shalat dan punya banyak fadhilah. Adapun membaca surah Yasin dan doa khusus itu adalah karangan para ulama tasawuf akan tetapi bukan hadis. Amalan-amalan dan doa-doa tersebut boleh dibaca dan tidak ada masalah.
  12. Dalam kitab al atsar al marfu’ah fi hadis al maudhu’ah, hadis Aisyah (nomor 1) tersebut tidak shahih. Tetapi Ibnu Hajar mengartikan bahwa waktu itu Rasulullah saw. banyak beribadah dan memperbanyak membaca doa. Kesimpulannya kalau berdasarkan hadis dia atas, maka dianjurkan untuk memperbanyak ibadah.
  13. Wallahu Ta’ala A’lam

10 KERUSAKAN DALAM PERAYAAN TAHUN BARU



10 KERUSAKAN DALAM PERAYAAN TAHUN BARU

[[ SILAHKAN DIBACA SAMPAI SELESAI ]]

[Bagi yang mau menerima nasehat, silakan dibaca. Bagi yang hatinya keras, semoga Allah beri hidayah dan JANGAN LUPA Bagikan/Share setelah baca]


Manusia di berbagai negeri bahkan dunia sangat antusias setiap kali menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali dirayakan ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.


“The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
Begitulah bunyi The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237 ketika menjelaskan makna tanggal 1 Januari. Perayaan tahun baru 1 Januari ternyata memiliki sejarah panjang di mana orang Romawi mempersembahkan tanggal ini kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan waktu.
Tidak heran, bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah; wajah yang menghadap ke masa depan dan wajah lainnya menghadap ke masa lalu.

Maka jika kita melihat perayaan tahun baru, maka di situlah kita dapat melihat nilai-nilai Yahudi masuk di dalamnya. Meniup terompet misalnya, kita sangat faham bahwa terompet adalah alat ciptaan Yahudi. Semula, budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut datangnya Rosh Hasanah atau tahun baru Taurat, yang jatuh pada bulan ketujuh atau tanggal 1 bulan Tishri dalam kalender Ibrani kuno.

Hal ini pun terpampang jelas dalam Alkitab Imamat 23;24:

“Katakanlah kepada orang-orang Isra’el, begini: Dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari perhentian penuh yang diperingati dengan meniup serunai (terompet), yakni hari pertemuan kudus” (Imamat 23:24)

Hingga kini kelompok Freemason terus menggelar perayaan ini (PERYAAN TAHUN BARU). Para masonik di belahan dunia pun dikabarkan sudah berkumpul di beberapa loji untuk menyambut tahun baru ini.

Mereka siap memasuki tahun 2013 untuk mempersiapkan The New World Order. “Happy New Year 2013 to all Freemason in the world,” bunyi laman Masonictimes.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.”[2]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).[3]

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”[4]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[5] [6]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.

“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”[7]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam
Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”[8]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu / lupa sholat magrib & isya'
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.[9] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[11]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[12] Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[13]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.[14] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isra’: 26-27).

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”[15] Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[16]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[17] Wallahu walliyut taufiq.

------------------------------------------------------------------
Info admin coba2 buat website tapi masih dalam perbaikan Bagaimana menurut anda ?